Kesedihan dan
Keberhasilan Seorang Pemulung Kecil
Jakarta, kota yang cukup sempit, bukan
hanya di pinggiran, di daerah perkotaan juga selalu ada masalah, macet, banjir,
udara panas, itu semua memang hiasan dalam kota ini. Yogi, itulah nama yang
diberikan oleh orang tuaku, kehidupanku bisa dikatakan cukup sederhana, tinggal
di pinggiran sungai kota Jakarta, yang selalu memandang kekotoran dan kumuhnya
air mengalir. Saat ini aku bersekolh di salah satu sekolah negeri di Jakarta,
hal yang selalu aku sukuri adalah ketika aku dan keluargaku selalu diberi
kemudahan dalam hidup, meskipun dengan keterbatasan yang ada. Aku anak ke
pertama dari 2 bersaudara, meskipun umurku masih sedikit aku tak pernah
merasakan indahnya bermain, jangankan bermain game online seperti anak-anak
pada umumnya, bermain setelah pulang sekolah saja aku sampai lupa rasanya.
Semuanya terjadi karena keadaan yang memaksaku seperti ini, keadaan ayahku
sebagai tulang punggung keluarga terhenti semenjak penyakit tumor menggerogoti
kedua lengan ayahku, dan Ibuku yang bekerja sebagai buruh diperusahaan kerupuk
hanya mendapat upah yang cukup untuk makan sehari-hari, beruntung adikku masih
kecil, dan dia belum sekolah sehingga Ibu hanya mencari nafkah untuk keperluan
hidup sehari-hari dan membeli obat untuk ayahku. Setiap pulang sekolah aku
selalu mencari barang-barang bekas, kardus bekas, dan sebagainya, memang itulah
pekerjaanku setiap hari sebagai pemulung, ya meskipun hasilnya tidak seberapa
lumayan lah bisa menambah keuangan keluarga kami. Aku dan orang tuaku sudah
sedikit terbantu dalam kehidupan ini, karena aku bisa bersekolah berkat beasiswa
yang selalu aku raih, meskipun aku lahir dari keluarga yang kurang mampu aku
tetap bangga dengan apa yang aku miliki saat ini.
Cerita itu berawal di sebuah sekolah
negeri di Jakarta, dipagi yang cerah aku masih seperti hari-hari sebelumnya,
aku berangkat kesekolah dan pada saat itu diberi amanah oleh pak Irfan, beliau
adalah guru bahasa Indonesia di SMP ku, aku diberi amanah untuk mengikuti
perlombaan tingkat kecamatan, pada saat itu aku lupa jika perlombaannya
diadakan pada hari itu juga, akhirnya aku tidak mempersiapkan apa saja, bahkan
aku lupa untuk membeli seragam baru agar terlihat lebih rapi ketika ikut
perlombaan, dan akhirnya aku dipermalukan oleh Beni dan teman-temannya, Beni
bisa dikatakan sebagai anak yang paling nakal disekolah tersebut, dia dan
teman-temannya selalu membuat onar. Setelah itu Beni berkata kepadaku “ Eh anak
kotor, luhuh dan bau, kamu itu mau lomba apa mau mulung sampah sih? Masa mau
lomba pakaianmu seperti seragam pemulung gitu!” itulah kata-kata pedas yang
terlontar dari mulut Beni.
Setelah dipermalukan habis-habisan aku
hanya tertunduk malu, aku mengaku salah karena aku tidak mengemban amanah dari
guruku dengan baik, akhirnya aku bergegas untuk pergi ke kantor guru dan ruang
kepala sekolah, saat berada di depan pintu kantor guru, tubuhku bergetar dan
jantungku berdebar kencang karena aku takut jika sampai kena marah oleh pak
Irfan dan guru-guru lain, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu
kantor “tok” “tok” ” tok”, suara pintu
kantor yang aku ketuk, akhirnya pintu itu dibuka oleh Ibu Maryam, dan saya
berkata “maaf bu, bisakah saya bertemu dengan pak Irfan?” kemudian sahut pak
Irfan ketika mendengar ketika aku mencarinya “Ada apa gi, pagi-pagi gini udah
mencari saya?” kemudian pak Irfan berjalan untuk mendatangi saya di depan pintu
ruang guru, beliau bertanya “Ada masalah apa, sampai pagi-pagi gini kamu
mencari saya?” dengan tubuh yang bergemetar dan ketakutan aku menjawa “Maaf pak
Irfan, hari ini saya lupa kalau hari ini ada perlombaan tingkat kecamatan, dan
saya belum bisa membeli seragam baru karena memang tidak ada uang lebih, sekali
lagi saya minta maaf pak!” namun dengan sifat pak Irfan yang baik hati beliau
memaafkan aku dan beliau juga memahami keadaan hidupku saat ini, akhirnya
beliau mengajakku untuk berangkat ke kecamatan untuk mengikuti perlombaan.
Ketika sampai di kecamatan, rasa
minder, rasa takut, bahkan rasa malu pun seperti mengeilingi tubuhku, ketika
aku turun dari motor pak Irfan beberapa peserta lomba memperhatikanku, aku
merasa seperti tidak pantas berada di tempat ini, namun dengan dorongan,
motivasi dan semangat dari pak Irvan sekolah yang telah memberi amanah
kepadaku, akhirnya aku membuang semua rasa negatifku, akhirnya perlombaan
dimulai beberapa pertanyaan yang dilontarkan juri semua dapat aku jawab meskipun
jawaban yang aku berikan kurang pasti, namun aku yakin aku pasti bisa melewati
ini semua.
Seiring berjalannya waktu, dan
akhirnya perlombaan selesai, dan tiba diakhir untuk memutuskan sekolah mana
yang berhak menjadi juara, ketika juri membacakan skor tubuhku bergetar dengan
kencang, bahkan keringatku keluar seperti orang yang habis lari mengelilingi
lapangan, kemudian pak Irvan datang dan merangkul pundakku, beliau mengatakan
“Ada apa gi, kenapa kamu bergetar, dan berkeringat seperti itu? Kamau capek?”
lalu aku menjawab “Pak, sebelumnya saya minta maaf jika nanti sekolah kita
tidak bisa mendapat juara ya pak!” kemudian pak Irfan tertawa mendengar
perkataanku “ha ha ha ha, kamu itu kenapa gi? Keputusan belum diputuskan kamu
sudah minder, ingat ya gi, menang kalah itu bukan urusan kita, asalkan kita mau
berusaha, meskipun hari ini kita gagal pasti suatu saat nanti kita akan
berhasil, bahkan kita akan mendapatkan lebih dari apa yang bisa kita dapat hari
ini!” berkat perkataan Pak Irfan akhirnya saya berfikir memang semua apa yang
kita lakukan pasti ada yang terbaik untuk kita.
30 menit saya dan pak Irfan menunggu
pengumuman lomba, akhirnya juri membacakan hasil perlombaan “Hasil perlombaan
Bahasa Indonesia se Kecamatan untuk tahun ini diraih oleh Yogi dari SMP Negeri
45 Jakarta” dengan rasa tidak percaya aku hanya diam dan berdiri terpaku ketika
mendengar pengumuman juri, dalam diriku hanya ada kata-kata “aku menang? Aku
menang? Aku menang?” hanya itu yang ada dalam diriku, kemudian pak Irfan
menatap berdiri di depanku dan menatapku kemudian beliau berkata “Engkau hebat
nak, kau tidak hanya membuat bangga bapak, engkau telah membuat bangga
sekolahan kita nak!” kemudian aku berteriak kencang “Akkkkkuuuuuuuuuuuu berhasiiiiil”
kemudian aku bersujud atas kemenangan yang diberikan kepadaku, lalu aku berlari
keatas panggung untuk mengambil hadiah dan piala yang besar, ketika aku di atas
panggung semua peserta dan guru-guru memberi tepuk tangan yang meriah. Ketika
aku berada di atas panggung tiba-tiba aku teringat kepada ayahku, aku merasa
seperti ada hal yang tidak baik pada ayahku, kemudian aku terdiam ketika di
atas panggung bahkan ketika aku diminta untuk menyampaikan beberapa patah kata
aku melamun, sampai akhirnya salah satu juri menghampiri dan memintaku untuk
menyampaikan beberapa patah kata, kemudian saya berkata “terimakasih kepada
seluruh pihak yang telah memberi kesempatan kepada saya, dan khususnya kepada
sekolah SMP Negeri 45 Jakarta beserta bapak Ibu guru saya, saya bisa mendapat
penghargaan ini dan bisa mengharumkan nama sekolah kita, tak lupa kemenangan
ini saya persembahkan kepada ayahku tercinta semoga lekas sembuh!”, kemudian
aku turun dari panggung langsung bergegas untuk menemui pak Irfan dan
memintanya untuk segera mengantarkanku pulang kerumah, karena terimakasih
kepada seluruh pihak yang telah memberi kesempatan kepada saya, dan khususnya
kepada sekolah SMP Negeri 45 Jakarta beserta bapak Ibu guru saya, saya bisa
mendapat penghargaan ini dan bisa mengharumkan nama sekolah kita, tak lupa
kemenangan ini saya persembahkan kepada ayahku tercinta semoga lekas sembuh!”,
kemudian aku turun dari panggung langsung bergegas untuk menemui pak Irfan dan
memintanya untuk segera mengantarkanku pulang kerumah, karena merasakan hal
yang kurang baik pada ayahku.
Ketika aku sampai di depan rumah, aku
kaget melihat rumahku yang ramai banyak orang, dan saya bingung sebenarnya ada
apa dirumahku, kemudian aku berlari menuju rumah, ketika sampai di dalam rumah
air mataku tak bisa terbendung lagi, aku melihat ayahku telah ditutup dengan
kain, aku seperti merasa tidak percaya, mengapa dibalik kebahagiaan ini ada
kesedihan yang begitu dalam, aku seperti merasa gagal dalam membahagiakan
ayahku dalam sisa umur yang ia miliki, aku menangis, menangis dan menangis,
bahkan aku sampi melemparkan piala yang telah aku raih dalam perlombaan, sambil
menangis aku berkata, “Aku tidak ingin ayah pergi sebelum aku mampu
membahagiakanmu yah, ayah jangan pergi, ayah jangan tinggalkan kami yah, ayah
aku ingin ayah melihat aku sukses yah, ayaaaaaaaaaaaahh”, kemudian Ibu
menangkan aku, bahkan pak Irfan sampai merangkul diriku dan dia mengatakan
“Ingat gi, semua manusia pasti akan mengalami hal yang sama, ayahmu telah
bangga melihat kamu berhasil, ayahmu telah merasa bahagia berkat dirimu, jadi jangan
pernah engkau sia-siakan perjuangan ayahmu semasa hidupnya, untuk sekarang kamu
harus lebih giat membantu ibumu dan kamu harus bisa mempertahankan prestasimu,
ingat meskipun ayahmu telah pergi beliau juga ingin kamu sukses dikemudian
hari”.
Beberapa waktu berlalu, semenjak
kepergian ayahku kehidupan keluarga kami mengalami perubahan, Ibu sekarang
menjadi lebih tekun beribadah dan bekerja, aku juga lebih giat dalam belajar
dan membantu orang tua ku, dan adikku, dan aku sadar bahwa di dunia ini memang tidak
ada yang abadi, semua manusia pasti akan pergi dari dunia ini entah itu nanti,
besok, maupun lusa, yang penting kita harus siap menerima segala
konsekuensinya, dan kita harus bisa memanfaatkan sisa umur kita selagi kita
masih mampu.